Monday, February 07, 2005

Plintut, Tak Tahu Berterima Kasih

Matahari mulai menyembunyikan sinar terangnya di ufuk Barat. Semilir angin menjelang malam saat itu begitu sejuk. Di tengah riuh rendahnya suara angin berhembus, terdengar langkah kaki seorang bertubuh renta berjalan perlahan. Terseok-seok kaki dilangkahkan sambil memikul cangkul di pundaknya menuju kediamannya.

Pandangan si bapak terlihat letih. Plintut namanya. Kulit keriputnya membalut tubuh gagahnya yang terbilang sudah tak muda lagi. Tak bisa disembunyikan kelelahan fisiknya yang ingin segera diistirahatkan.

Hari itu gelapnya malam mulai menyelimuti Kampung Plajaran, Kecamatan Brino, Ciko Barat. Dari kejauhan terdengar deru sepeda motor. Sinar lampunya menyilaukan Plintut. Suara mesin sepeda motor makin jelas terdengar. Si pengemudi motor itu ternyata Pak Sardi, ketua rukun tetangga.

Senyum ramah Plintut tak segan ia lemparkan ke arah Pak Sardi. Plintut kenal baik dengan si pengendara yang memang berkali-kali berpapasan dengannya, beberapa hari terakhir ini. "Assalamualaikum Pak Plintut!" sapa Pak Sardi. Plintut pun membalas salamnya. Seperti biasanya pula, Sardi tidak menghentikan kendaraan karena harus menghadiri rapat.

Usai membalas salam, pandangan Plintut menjadi agak kabur akibat sinar lampu sepeda motor tadi. Tapi tak lama. Perlahan-lahan ia sudah melihat dengan jelas rumah kecilnya di ujung jalan dan pohon kelapa rumahnya. Pagar kayu yang sudah berumur puluhan tahun dibukanya perlahan. Dengan langkah gontai Plintut mendekati pintu. Ia ketok. Sang istri membuka sambil memberikan senyum manis menyambut kepulangan sang suami.

Bu Minah mengambil alih cangkul di pegangan Plintut, membawanya ke dapur dan diletakan dekat kompor. Ia lalu mengambil gelas dan menuangkan air panas yang sudah dimasak sejam sebelumnya. Dimasukannya serbuk teh. Bu Minah kemudian meletakkan teh hangat itu di meja makan. "Pak, airnya sudah siap," ujarnya.

Malam ini dingin begitu menusuk. Menggigil badan Plintut. "Bu, tolong ambilkan saya jaket, dingin sekali," tolong Plintut. Ia lalu berjalan menuju kamar tak jauh dari pintu masuk. Melewati meja makan, dibukanya tirai kain penutup pintu kamar. Derit pintu terdengar pelan perlahan.

Tak lama kemudian Minah masuk dan memberikan jaket cokelat tebal hadiah anaknya sepuluh tahun silam. Plintut buru-buru kenakan jaket lusuhnya dan membaringkan tubuhnya di kasur. Plintut begitu lelah. Padahal malam baru belum saja larut.

Teh hangat yang sudah disiapkan Minah menjadi dingin. Kesal sang istri dibuatnya. Sudah tiga kali terakhir ini teh hangat yang disajikannya tidak disentuh. Ada apa gerangan? Minah membatin. Setelah lama berbenah, kekesalan si istri larut dalam buaian mimpi, ia ikut lelap tertidur di kursi dekat meja makan.

(AIS/Pikiran Sendiri)

Maklumlah, orang gila yang nulis.

No comments: